Look closely at our backwall, and you’ll see more than just art—you’ll find the heartbeat of Bandung’s culture. From the mischievous Cepot, a beloved wayang character, to the graceful Merak dancers, every detail tells a story. The legend of Si Leungli, about a girl and a magical fish, speaks to the city’s folklore, while Dayang Sumbi’s tale reminds us of Tangkuban Perahu’s mythical origins.
This isn’t just decoration—it’s a celebration of the stories that have shaped the neighborhood. At Hotel Indigo Bandung Dago Pakar, we believe every guest should feel connected to the local spirit, and this wall is our way of welcoming you into Bandung’s living history.
Coba lihat lebih dekat ke panel dinding kami yang memanjang hingga meja front office, bukan hanya cantik dan warna-warni, namun panel ini memuat berbagai cerita yang menghidupkan budaya di Kota Bandung. Setiap detail menggambarkan kekayaan budaya di kota ini, mulai dari sosok Cepot yang nakal dan bijaksana, Tari Merak yang anggun, Legenda Si Leungli, tentang seorang anak perempuan dan ikan ajaib, hingga kisah Dayang Sumbi yang mengingatkan kita pada asal-usul mitos terbentuknya Tangkuban Perahu.
Hotel Indigo Bandung Dago Pakar adalah tempat dimana budaya lokal dibalut dengan sentuhan seni yang modern. Kami menyambut petualangan seru Anda di Kota Bandung yang bermula dari titik ini.
Wayang Cepot is a beloved character from Sundanese Wayang Golek, a traditional wooden puppet theater in West Java. Cepot, also known as Astrajingga, is a humorous and witty figure with a bright red face, big smile, and sharp tongue. Unlike the noble warriors, Cepot is a commoner who speaks in everyday language, making him relatable and entertaining for audiences. His jokes, clever remarks, and street-smart personality often provide comic relief in wayang performances.
Despite his playful nature, Cepot is also brave and loyal. He fights for justice and helps the Pandawa heroes with his quick thinking and unique wisdom. He represents the voice of the ordinary people, offering sharp social commentary hidden within his humor. Because of his popularity, Cepot has become an iconic symbol of Sundanese culture, loved by generations for his mix of comedy, bravery, and wisdom.
Wayang Cepot adalah karakter yang dicintai dari wayang golek Sunda. Cepot, yang juga dikenal sebagai Astrajingga, adalah sosok yang lucu dan jenaka dengan wajah merah cerah, senyum lebar, dan lidah yang tajam. Tidak seperti para ksatria bangsawan, Cepot adalah orang biasa yang berbicara dengan bahasa sehari-hari, membuatnya mudah diterima dan menghibur para penonton. Leluconnya, komentarnya yang cerdas, dan kepribadiannya yang lugu sering memberikan kelucuan dalam pertunjukan wayang.
Terlepas dari sifatnya yang lucu, Cepot juga pemberani dan setia. Ia memperjuangkan keadilan dan membantu para pahlawan Pandawa dengan pemikirannya yang cepat dan kebijaksanaannya yang unik. Dia mewakili suara rakyat biasa, menawarkan komentar sosial yang tajam yang tersembunyi di dalam humornya. Karena popularitasnya, Cepot telah menjadi simbol ikonik budaya Sunda, dicintai dari generasi ke generasi karena perpaduan komedi, keberanian, dan kebijaksanaannya.
Dayang Sumbi is a well-known character in Sundanese folklore, featured in the legend of Sangkuriang. She was a beautiful and wise princess who lived in a secluded hut after rejecting palace life. One day, she accidentally dropped her spool of yarn. She promised to marry anyone who returned it, not realizing a dog named Tumang, who was actually a cursed prince, would bring it back. Keeping her word, she married Tumang, and they had a son named Sangkuriang.
Years later, Sangkuriang unknowingly fell in love with his own mother. When Dayang Sumbi discovered the truth, she tried to stop their marriage by setting an impossible task, building a massive lake and boat in one night. With the help of spirits, Sangkuriang nearly completed the task, but Dayang Sumbi tricked him into thinking morning had arrived by alarming the chickens. Enraged, he kicked the unfinished boat, which became Mount Tangkuban Perahu, a famous volcano near Bandung.
Dayang Sumbi, nama yang sangat akrab diikalangan masyarakat Sunda khususnya Bandung. Seorang putri cantik dan bijaksana yang tinggal di gubuk terpencil setelah keluar dari kehidupan istana. Suatu hari, dia tidak sengaja menjatuhkan gulungan benangnya. Ia berjanji untuk menikahi siapa pun yang mengembalikannya, tanpa menyadari bahwa seekor anjing bernama Tumang, yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang dikutuk, akan mengembalikannya. Demi menepati jjanjinya, ia menikah dengan Tumang, dan memiliki seorang putra bernama Sangkuriang.
Bertahun-tahun kemudian, Sangkuriang tanpa sadar jatuh cinta pada ibunya sendiri. Ketika Dayang Sumbi mengetahui hal ini, ia mencoba menghentikannya dengan memberikan misi yang mustahil, yaitu membuat danau dan perahu raksasa dalam satu malam. Dengan bantuan para makhluk, Sangkuriang hampir menyelesaikan tugas tersebut, namun Dayang Sumbi menipunya dengan membangunkan ayam-ayam agar dia mengira bahwa pagi telah tiba. Dengan penuh amarah, Sangkuriang menendang perahu yang belum selesai, yang kemudian menjadi Gunung Tangkuban Perahu, sebuah gunung berapi yang terkenal di Bandung.
Burung Cangkurileung is a bird often mentioned in Sundanese folklore and songs. Its beautiful, melodious chirping is said to bring a sense of peace and nostalgia, reminding people of the countryside and traditional life. In some stories, the bird symbolizes longing and heartfelt emotions, often connected to themes of love and separation.
For the Sundanese people, the Cangkurileung is more than just a bird, it represents nature’s harmony and the deep cultural connection between humans and their environment. Its song has inspired traditional music, poetry, and storytelling, making it an important part of Sundanese heritage.
Burung Cangkurileung adalah burung yang sering disebut dalam cerita rakyat dan lagu-lagu Sunda. Kicauannya yang indah dan merdu dikatakan membawa rasa damai dan nostalgia, mengingatkan orang akan pedesaan dan kehidupan tradisional. Dalam beberapa cerita, burung ini melambangkan kerinduan dan emosi yang tulus, yang sering dihubungkan dengan tema cinta dan perpisahan. Bagi masyarakat Sunda, Cangkurileung lebih dari sekadar burung, ia mewakili harmoni alam dan hubungan budaya yang mendalam antara manusia dan lingkungannya. Nyanyiannya telah menginspirasi musik tradisional, puisi, dan dongeng, menjadikannya bagian penting dari warisan budaya Sunda.
Tari Merak, or the Peacock Dance, is a traditional Sundanese dance from West Java that showcases the beauty and elegance of a peacock. Inspired by the bird’s graceful movements, dancers wear vibrant costumes with flowing wing-like fabric and elaborate headdresses resembling a peacock’s crown. The dance represents charm, beauty, and courtship, often performed at cultural events and celebrations.
Each movement in Tari Merak mimics the way a peacock moves, from its delicate steps to the elegant spreading of its “feathers.” The dance is typically performed in groups, creating a mesmerizing display of color and rhythm. With its captivating beauty, Tari Merak is not just an artistic expression but also a symbol of Sundanese pride and culture.
Tari Merak adalah tarian tradisional Sunda dari Jawa Barat yang menampilkan keindahan dan keanggunan burung merak. Terinspirasi dari gerakan anggun burung merak, para penari mengenakan kostum yang semarak dengan kain yang melambai-lambai dan hiasan kepala yang rumit menyerupai mahkota burung merak. Tarian ini melambangkan pesona, keindahan, dan kemesraan, yang sering ditampilkan di acara-acara budaya dan perayaan. Setiap gerakan dalam Tari Merak meniru gerakan burung merak, mulai dari langkahnya yang halus hingga penyebaran “bulu-bulunya” yang elegan. Tarian ini biasanya ditampilkan secara berkelompok, menciptakan tampilan warna dan irama yang memukau. Dengan keindahannya yang menawan, Tari Merak bukan hanya sebuah ekspresi artistik, tetapi juga merupakan simbol kebanggaan dan budaya Sunda.
Nature is a big part of Bandung’s identity, and our tree-like pillars are inspired by the towering trees of Tahura or Taman Hutan Raya. Tahura itself is a conservation forest in Bandung, West Java. Covering around 590 hectares, it is a mix of natural forest and historical sites, offering a peaceful escape from the city. The forest is home to diverse plant and animal species, making it a favorite spot for nature lovers, hikers, and families looking to explore Bandung’s rich biodiversity. Whether you’re here for work or play, we hope these pillars bring a little bit of Bandung’s natural beauty indoors. It’s our way of blending modern design with the soul of the city, making our hotel is one of a kind property.
Terinspirasi oleh pepohonan yang menjulang tinggi di Taman Hutan Raya (Tahura), pilar-pilar kami dirancang menyerupai bentuk pohon besar yang ada di Tahura dan menghadirkan sentuhan keindahan alam di lobby kami. Tahura merupakan perpaduan antara hutan alami dan situs bersejarah, menawarkan ketenangan bagi siapa saja yang ingin sejenak menjauh dari hiruk-pikuk kota. Hutan ini menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna, menjadikannya destinasi favorit bagi pencinta alam, pendaki, dan keluarga yang ingin mengeksplorasi kekayaan hayati Bandung. Kami harap dengan kedekatan antara desain hotel dan lingkungan sekitar, Anda dapat memiliki pengalaman berkunjung yang unik dan tak terlupakan.
“Dagoan” means “waiting” in Sundanese, but waiting here feels more like stepping back in time. The lounge’s furniture is inspired by old colonial homes, the kind where your grandparents might have lived—warm, familiar, and full of stories. You might also noticed the unique shape of the lounge’s cage-like structure, its design is inspired by the silhouette of Tangkuban Perahu, the legendary volcano just outside the city.
This space is meant to cherish your moments, whether you’re pausing between adventures or simply enjoying a moment of stillness. At Hotel Indigo Bandung, we believe in bringing the essence of the neighborhood into every detail, and the Dagoan Lounge is our way of inviting you to sit, relax, and take in the spirit of Bandung.
“Dagoan” berarti ‘menunggu’ dalam bahasa Sunda, namun menunggu di sini terasa seperti melangkah mundur ke masa lalu. Bentuk unik dari struktur ruang tunggu yang seperti sangkar desainnya terinspirasi dari siluet Gunung Tangkuban Perahu, gunung berapi legendaris di Bandung dan semua hal yang berada di sekitar Lounge kami seperti kursi, meja, dan beberapa bantal terinspirasi dari barang-barang khas kolonial kuno, tempat tinggal kakek-nenek kita yang hangat, akrab, dan penuh cerita.
Patrakomala is a beautiful flower deeply rooted in Sundanese culture and mythology. It is often associated with grace, purity, and protection. According to legend, the flower was a gift from the gods, believed to bring good fortune and safeguard those who possessed it. Because of this, Patrakomala is often linked to traditional ceremonies and artistic expressions in West Java. As a cultural icon, Patrakomala continues to inspire local art, design, and traditions, preserving its legacy in Sundanese heritage.
Patrakomala adalah bunga indah yang berakar kuat dalam budaya dan legenda Sunda. Bunga ini sering diasosiasikan dengan keanggunan, kemurnian, dan perlindungan. Menurut legenda, bunga ini merupakan hadiah dari para dewa, yang dipercaya membawa keberuntungan dan melindungi mereka yang memilikinya. Oleh karena itu, Patrakomala sering dikaitkan dengan upacara adat dan ekspresi seni di Jawa Barat. Sebagai ikon budaya, Patrakomala terus menginspirasi seni, desain, dan tradisi lokal, melestarikan warisan warisan Sunda.
The curved, textured walls near the elevator might feel like an artistic touch, but they actually draw inspiration from the caves hidden within Tahura. These caves, once used during the Dutch and Japanese colonial periods, are a quiet reminder of Bandung’s layered history.
By bringing this texture into our space, we pay tribute to the past while keeping things fresh and modern. It’s a little piece of Bandung’s history woven into your stay, one you can see and feel as you move through the hotel.
Dinding yang melengkung dan bertekstur di dekat lift mungkin terasa seperti sentuhan seni yang menarik dari ujung hingga ujung lainnya, namun sebenarnya tekstur ini terinspirasi dari gua-gua yang tersembunyi di Tahura. Gua-gua yang pernah digunakan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, merupakan pengingat akan deretan sejarah di Bandung. Membawa tekstur dan perasaan ini ke dalam desain adalah cara kami untuk terus menjaga cerita-cerita di masa lalu dan sejarah Kota Bandung yang terasa senantiasa hidup.